JAKARTA – Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Vivi Yulaswati mengatakan asumsi kebutuhan investasi untuk transisi energi akan lebih meningkat seiring target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
“Kalau KEN (Kebijakan Energi Nasional) itu saya tahunya (pertumbuhan ekonomi atas dasar pertimbangan makro ekonomi) sekitar 6-7 persen, tapi sekarang Presiden Prabowo Subianto maunya 8 persen, akan ada asumsi kebutuhan investasinya lebih banyak, lebih meningkat,” ujarnya dalam Indonesia Energy Transition Dialogue 2024, Senin (5/11/2024).
Transisi energi mencerminkan upaya Presiden agar Indonesia mencapai swasembada energi yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi sebesar 8 persen pada tahun 2029. Namun, untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan investasi dengan berbagai skema, mulai dari pembiayaan inovatif, green bond, blue bond, hingga skema Just Energy Transition Partnership (JETP)
“Investasi hari ini kita tak hanya rely on pada yang tradisional atau conventional sources (sumber-sumber konvensional). Kita sekarang juga banyak melakukan pembiayaan inovatif, skema-skema baru, ada bond, ada (pendanaan) karbon, dan ke depannya tentunya balik lagi ke arah implementasinya yang tentunya harapannya akan ada akselerasi-akselerasi,” ujar Vivi.
Kini, pemanfaatan teknologi untuk transisi energi di Indonesia juga disebut beragam dengan harga keekonomian yang harus disesuaikan dengan konteks wilayah masing-masing.
“Bicara Papua, bicara (Indonesia bagian) barat, dan Jawa tentunya kebutuhannya bisa beda-beda, dan sumbernya juga beda-beda. Jadi, manakala kita bisa membangun konteks hilirisasi dari energi masing-masing, membangun value chain-nya (rantai nilai), mudah-mudahan harga keekonomiannya bisa didapat dengan lebih cepat lagi. Dengan anak-anak muda hari ini yang semuanya lebih memudahkan untuk beradaptasi terhadap kemajuan teknologi dan inovasi, harapannya tentunya pekerjaan hijau (green jobs) ini bisa kita lakukan juga,” kata Vivi.
Ke depan, dia menilai interkoneksi antarpulau harus dilakukan supaya hilirisasi energi berjalan supaya mencapai swasembada energi sebagaimana yang ditargetkan Presiden Prabowo. Meskipun Indonesia saat ini menjadi lumbung energi, tetapi potensi sumber energi tidak tersebar merata dan belum bertumbuh sesuai yang diinginkan.
Mengingat mayoritas populasi penduduk berada di Pulau Jawa dengan stok energi yang oversupply di pulau tersebut, maka fokus selanjutnya ialah mengembangkan alternatif energi di berbagai daerah dengan melakukan hilirisasi. Misalnya, PT Pertamina (persero) diwajibkan mengembangkan B35 (campuran bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit dan Bahan Bakar Minyak/BBM solar) dan E10 (bahan bakar campuran etanol dan bensin tanpa timbal).
“Sekarang apa yang mesti kita lakukan? Tentunya banyak sekali penelitian yang kita sudah lakukan, tidak cuma tebu, tapi juga ada nyamplung (sejenis pohon Bintangur yang hidup di pesisir yang berpasir dan berbatu karang), terus singkong, dan sebagainya. Nah, sekarang mengembangkan berbagai research-research tersebut, tentunya kita butuh lahan. Ini satu persoalan tersendiri, bagaimana lahan-lahan yang tidak produktif, kemudian juga tentunya kita juga melihat ekonomi biru sebagai bagian juga dari sebagai sumber energi, ini yang saya maksud sebagai hilirisasi di energi itu sendiri,” kata dia.
Dia mengatakan, perusahaan-perusahaan China sudah menempati tier 1 (peringkat yang diberikan untuk menunjukkan level sebuah perusahaan produsen panel surya) untuk sel surya yang banyak memanfaatkan berbagai riset dari Eropa, kemudian dibangun rantai nilai dalam industri solar panel dari hulu ke hilir dengan harga murah.
Menurut Vivi, Indonesia bisa membangun dengan cara seperti itu melalui hilirisasi guna mengganti opsi satu sumber energi untuk seluruh Indonesia.
Misalnya, wilayah Papua memiliki sumber energi dari air yang dapat menjadi sumber energi bagi pengembangan industrialisasi di wilayah timur Indonesia. Sementara di sisi Indonesia bagian barat, hilirisasi dari geotermal atau panas bumi juga bisa dikembangkan.
“Tentunya, grid-nya (interkoneksi antarpulau) mesti beres, hulu ke hilirnya dibangun, dan tentunya kapasitas, termasuk manusianya, itu juga harus dibangun dalam lima tahun ini,” ujar Vivi. (ANTARA)