JAKARTA – Aktivis 98 Rahmat Hidayat Pulungan menganalisis bahwa bertemunya Jokowi dan Prabowo itu diikat dalam persamaan narasi narasi besar tentang Indonesia.
Menurut Rahmat, Jokowi dan Prabowo disatukan dalam narasi besar Indonesia maju dan tangguh.
“Tidak ada negara besar tanpa narasi besar. Narasi besar akan sangat penting karena akan menjadi spirit bersama, mengonsolidasikan potensi, arus utama, dan meminimalisasi fragmentasi dalam negeri. Kita bisa lihat Amerika, China, Korea, Uni Emirat, dan negara maju lainnya. Semua negara besar pasti punya narasi besar yang bisa mempersatukan rakyatnya dalam titik tertentu,” kata Rahmat, Sabtu (4/11/2023).
Seorang presiden dan calon presiden, lanjut Rahmat, perlu punya kesinambungan dalam narasi besar tentang Indonesia, sehingga hal itu bisa mempercepat proses kemajuan dan keberalanjutan Indonesia.
“Hari ini yang punya narasi besar itu Jokowi dan Prabowo. Negara kita ini terlalu plural: multietnik, agama dan bahasa. Bahkan, secara geografis sangat luas dan unik. Fragmentasi yang terjadi juga cukup serius dengan latar yang beragam dan menarik untuk dipahami,” ujar tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) ini.
Pilpres 2024 ini dengan tiga pasang capres-cawapres secara sederhana dapat dikelompokkan dengan tiga pendekatan, yaitu berbasis gagasan, nilai dan kepentingan.
Pengelompokan pertama, kata Rahmat, adalah mereka yang bertemu karena kekuatan gagasan.
Kedua mereka berkumpul karena persamaan nilai, dan ketiga mereka berjuang karena pertemuan kepentingan.
Menurut Rahmat, yang mengintegrasikan Jokowi dan Prabowo itu ada pada gagasan dan narasi besar untuk Indonesia maju dan tangguh.
“Nilai dan budaya itu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan gagasan yang kuat. Sesuatu yang dulu naif atau aneh, sekarang berubah, semua dianggap biasa saja. Itulah yang namanya dinamika dan perkembangan zaman sesuai kaidah ushul fikih menjaga nilai-nilai lama sekaligus berinovasi dan menerima nilai-nilai baru yang baik,” katanya.
Rahmat berpendapat apa yang dikerjakan Jokowi, jika menggunakan standar nilai-nilai dan budaya lama kita, sebenarnya sering berbenturan.
“Makanya banyak nilai dan budaya baru dalam pemerintahan Jokowi. Ini terjadi karena gagasan yang kuat dan nilai serta budaya berkembang menyesuaikan zaman,” jelasnya.
Rahmat meyakini, gagasan yang kuat, nilai-nilai baru dan kepentingan strategis akan bersatu dalam narasi besar Indonesia maju dan tangguh. Narasi besar itu kemudian menjadi energi bagi Jokowi untuk melakukan gebrakan yang sangat berani.
Misalnya Jokowi berani mengakuisisi Freeport, Vale dan banyak perusahaan asing lain yang menguasai sumber daya alam (SDA). Lalu menghentikan ekspor bahan baku dan memaksa hilirisasi yang merupakan langkah strategis bagi Indonesia.
“Dan, ini memaksa kita bergerak cepat dalam semua hal, baik sumber daya manusia, regulasi, dan lainnya,” jelasnya.
Usaha membuat kereta cepat, menurut Rahmat, adalah simbolisasi negara maju. Sebenarnya, langkah dan usaha membuat kereta cepat adalah simbolisasi yang sedang dilakukan Jokowi bahwa Indonesia siap menjadi negara maju.
“Saat ini pesawat bukan sebuah simbol kemajuan. Negara berkembang, maju, miskin atau kaya pasti punya pesawat. Justru yang melambangkan kemajuan itu adalah kereta cepat. Kereta cepat adalah simbol negara maju, karena tidak semua negara memiliki kereta cepat. Di Asia Tenggara kita yang pertama,” tandas Rahmat.
Rahmat juga menilai, secara sederhana setiap kunjungan atau acara kenegaraan, ketika Jokowi bersalaman dan berdiri sejajar dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Presiden China Xi Jinping, Presiden UEA Mohammed bin Zayed Al Nahyan (MBZ) dan Putra Mahkota sekaligus Perdana Menteri Arab Saudi Mohammad bin Salman Al Saud (MBS), itu memberi sebuah pesan kuat ke seluruh dunia bahwa Indonesia bukan negara kelas dua.
Source: Kompas.com